Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter satu sama
lain saling berpengaruh dalam kegiatan perekonomian. Masing – masing variabel
kebijakan tersebut, kebijakan fiskal dipengaruhi oleh dua variabel utama, yaitu
pajak (tax) dan pengeluaran pemerintah (goverment expenditure). Sedangkan
variabel utama dalam kebijakan moneter, yaitu GDP, inflasi, kurs, dan suku
bunga. Berbicara tentang kebijakan fiskal dan kebijakan moneter berkaitan erat
dengan kegiatan perekonomian empat sektor, dimana sektor – sektor tersebut
diantaranya sektor rumah tangga, sektor perusahaan, sektor pemerintah dan
sektor dunia internasional/luar negeri. Ke-empat sektor ini memiliki hubungan
interaksi masing – masing dalam menciptakan pendapatan dan pengeluaran.
Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian
melalui penerimaan negara dan pengeluaran negara. Disamping pengaruh dari
selisih antara penerimaan dan pengeluaran (defisit atau surplus), perekonomian
juga dipengaruhi oleh jenis sumber penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang dibiayai
pengeluaran negara.
Di dalam perhitungan defisit atau surplus
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis
penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis
pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai pengeluaran negara. Pada dasarnya
yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan
yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan
kontraksi dalam perekonomian. Dengan demikian hibah dari negara donor serta
pinjaman luar negeri tidak termasuk dalam penerimaan negara. Di lain sisi,
yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi
pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha
milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri
tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara.
Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran
negara tersebut, akan diperoleh besarnya surplus atau defisit APBN. Dalam hal
terdapat surplus dalam APBN, hal ini akan menimbulkan efek kontraksi dalam
perekonomian, yang besarnya tergantung kepada besarnya surplus tersebut . Pada
umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan sebagai cadangan atau untuk
membayar hutang pemerintah (prepayment).
Dalam hal terjadi defisit, maka defisit tersebut
dapat dibayai dengan pinjaman luar negeri (official foreign borrowing) atau
dengan pinjaman dalam negeri. Pinjaman dalam negeri dapat dalam bentuk pinjaman
perbankan dan non-perbankan yang mencakup penerbitan obligasi negara
(government bonds) dan privatisasi. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa
penerbitan obligasi negara merupakan bagian dari pembiayaan defisit dalam
negeri non-perbankan yang nantinya diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih
tinggi. Hal yang paling penting diperhatikan adalah menjaga agar hutang luar
negeri atau hutang dalam negeri tersebut masih dalam batas-batas kemampuan
negara (sustainable).
Pada dasarnya defisit dalam APBN akan menimbulkan
efek ekspansi dalam perekonomian . Dalam hal defisit APBN dibiayai dengan
pinjaman luar negeri, maka hal ini tidak menimbulkan tekanan inflasi jika
pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang-barang impor,
seperti halnya dengan sebagian besar pinjaman dari CGI selama ini. Akan tetapi
bila pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang dan jasa
di dalam negeri, maka pembiayaan defisit dengan memakai pinjaman luar negeri
tersebut akan menimbulkan tekanan inflasi. Dilain pihak, pembiayaan defisit
APBN dengan penerbitan obligasi negara akan menambah jumlah uang yang beredar
dan akan menimbulkan tekanan inflasi.
Adapun pembiayaan defisit dengan menggunakan
sumber dari pinjaman luar negeri akan berpengaruh pada neraca pembayaran
khususnya pada lalu lintas modal pemerintah . Semakin besar jumlah pinjaman
luar negeri yang dapat ditarik, lalu lintas modal Pemerintah cenderung positif.
Adapun kinerja pemerintah dapat dilihat dari besarnya nilai lalu lintas
moneter. Nilai lalu lintas moneter yang positif menunjukkan adanya cash inflow.
Pada dasarnya, kebijaksanaan moneter ditujukan
agar likuiditas dalam perekonomian berada dalam jumlah yang “tepat” sehingga
dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa menimbulkan tekanan inflasi.
Umumnya pelaksanaan pengaturan jumlah likuiditas dalam perekonomian ini
dilakukan oleh bank sentral, melalui berbagai instrumen , khususnya open market
operations (OMOs).
Dalam melaksanakan OMO, pada umumnya bank sentral
menjual atau membeli obligasi negara jangka panjang. Jika likuiditas dalam
perekonomian dirasakan perlu ditambah, maka bank sentral akan membeli sejumlah
obligasi negara di pasar sekunder, sehingga uang beredar bertambah, dan dilain
pihak bila bank sentral ingin mengurangi likuiditas dalam perekonomian, bank
sentral akan menjual sebagian obligasi negara yang berada dalam portofolio bank
sentral. Perlu difahami bahwa portofolio obligasi negara di bank sentral
tersebut memberikan pendapatan kepada bank sentral berupa bunga obligasi.
Dalam kasus Indonesia, sampai saat ini Bank Indonesia
belum memiliki obligasi negara yang dapat dipakai untuk OMO. Walaupun
pemerintah Indonesia telah menerbitkan obligasi, yang dimulai pada masa krisis
untuk rekapitalisasi bank-bank yang bermasalah, tetapi pasar sekunder bagi
obligasi negara baru pada tahap awal dan volume transaksi jual beli di pasar
sekunder tersebut masih sedikit. Selama ini Bank Indonesia masih mempergunakan
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk melaksanakan OMOs. Disamping menimbulkan
beban pada Bank Indonesia, karena BI harus membayar bunga SBI yang cukup
tinggi, jangka waktu SBI juga sangat pendek, umumnya 1 (satu) bulan, sehingga
instrumen ini sebenarnya kurang memadai untuk dipakai dalam OMOs
Sumber
Refrensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar